Pertemuan dan perpisahan adalah suatu rangkaian yang selalu aku alami dan memang harus terjadi selama melakukan perjalanan dari Bengkulu menuju ke Banyuwangi, hingga sampai ke gunung Ijen.
Namun pertemanan yang terjalin
dari pertemuan-pertemuan itu akan menjadi hal yang sangat baik, dan kenangan
yang tercipta akibat perpisahan akan menjadi sebuah cerita yang indah.
Setelah turun dari Ijen, keesokan
harinya ditanggal 25 Januari 2022, aku berpisah dengan kedua orang teman baru
aku di Banyuwangi, karena aku harus melanjutkan perjalanan.
Baca Juga : Backpackeran Bengkulu ke Palembang
Iya, aku akhirnya memutuskan
untuk tidak berhenti di Ijen saja, aku akan menyambangi satu lagi tempat yang
menjadi goals aku di tahun ini, dan tempat itu adalah “Desa Adat Waerebo”.
Desa Adat Waerebo terletak di Kabupaten
Manggarai yang ada di sebuah pulau yang memiliki begitu banyak tempat menarik,
sebuah pulau yang di beri nama Pulau Flores atau yang berarti bunga dalam
bahasa Portugis nya.
Untuk mengunjungi pulau ini dan
berangkat dari pulau Jawa, aku memilih menggunakan transportasi laut, bukan
udara.
Alasannya sederhana, selain lebih
murah tentu saja, aku ingin memperpanjang waktu perjalanan dan bertemu lebih
banyak orang lagi.
Baca Juga : Backpackeran Palembang ke Surabaya
Dari Banyuwangi, aku menyebrang
menggunakan kapal laut menuju ke pulau Dewata, disana aku berisitarahat selama
3 hari, disana juga aku akhirnya kembali bertemu dengan banyak orang, salah
satunya adalah Uli, Seorang wanita berdarah Batak yang baru aku kenal dan
memutuskan untuk ikut aku menyambangi pulau Flores.
Iya, ini lah serunya melakukan
perjalanan berbentuk backpacker, kita tidak pernah tahu siapa yang akan kita
temui, yang mungkin saja orang itu akan menjadi bagian dari cerita perjalanan
yang sedang dilalui.
Dari pulau Dewata, aku kembali
melanjutkan perjalanan menggunakan transportasi laut, dari Pelabuhan Benoa
menuju ke Pelabuhan Labuan Bajo selama kurang lebih 24 jam.
Di atas kapal, tentu saja aku juga akhirnya bertemu dengan orang baru lagi, berbagai cerita dan bertukar kontak
agar nanti bisa saling menghubungi.
Pulau Flores.
Aku sampai di Labuan Bajo saat
matahari belum terlalu tinggi, dan seperti kebanyakan daerah yang ada di
pesisir, cuaca di Labuan Bajo juga terasa cukup panas.
Januari dan Februari sebetulnya
masih masuk dalam bulan penghujan, itu artinya akan ada kemungkinan aku dan Uli,
gagal dalam perjalanan karena terhalang oleh hujan, namun sisi baiknya Pulau Padar
yang menjadi salah satu tempat persinggahan kami, akan sangat hijau dan cantik.
Kami melakukan perjalanan 1 hari penuh
keesokan harinya menuju ke Pulau Padar, Pulau Pink, dan Pulau Komodo. Ini
seperti bonus perjalanan yang aku dapat dalam upaya mengunjungi Desa Adat Waerebo, aku ga akan bercerita tentang ketiga pulau ini sekarang, tapi yang pasti tiga
tempat itu sangat indah.
Tanggal 1 Februari 2022, pagi
hari tepatnya jam 7 pagi, setelah membeli sarapan dipinggir jalan disekiataran Labuan
Bajo, aku dan Uli memulai perjalanan kami menuju ke Waerebo dengan sepeda motor
sewaan.
Baca Juga : Backpacker-an Bengkulu ke Banyuwangi
Terdapat dua jalur yang tersedia
dari Labuan Bajo untuk menungjungi Waerebo, yang pertama adalah Labuan Bajo –
Routeng – Denge yang akan memakan waktu sekitar 9 jam dengan pemandangan persawahan
yang berbentuk jaring laba-laba (aku yakin kamu pasti tau tempat ini), atau yang kedua adalah Labuan Bajo-Lembor-Denge
yang akan memakan waktu sekitar 4 hingga 5 jam dengan kondisi jalan yang rusak
namun berpemandanganan pantai yang indah, dan jalur inilah yang kami pilih.
Denge merupakan desa terakhir
yang bisa dilewati oleh kendaraan untuk menuju ke Waerebo, setelahnya kami
harus melakukan perjalanan dengan berjalanan kaki, sebetulnya kendaraan juga
bisa diparkirkan di desa tersebut, tapi aku lebih memilih untuk memarkirkan
kendaraan langsung di pintu masuk Waerebo.
Desa Adat Waerebo berada di tengah-tengah
pegunungan pada ketinggian 1.100 MDPL, itu artinya kami harus melakukan
pendakian untuk sampai ke desa tersebut, menurut warga sekitar yang ada dipintu
masuk, waktu yang akan ditempuh untuk pendakian ini rata-rata adalah sekitar 2
jam perjalanan, tergantung kecepatan kita berjalan.
Mereka sempat menawarkan aku dan Uli
untuk untuk menyewa jasa proter atau guide, namun karena barang kami juga tidak
banyak serta jalur pendakian yang cukup lumayan jelas, akhirnya kami memutuskan
untuk mendaki sendiri, dan itu adalah keputusan yang tepat karena setelah
setengah jam berjalan, kami bertemu dengan sepasang suami isitri dan anaknya
yang merupakan wagra asli Waerebo yang juga hendak naik.
Warga Desa Adat Waerebo
Vegetasi yang cukup lumayan padat, dengan pepohonan besar yang menghambat cahaya matahari langsung menembus permukaan tanah, serta deru angin yang bertiup menghembus lembut ke wajah menjadi kenikmatan tersendiri.
Sepanjang perjalanan ini kami
bercerita tentang banyak hal, bapak ibu yang membersamai kami memberitahu bahwa
mereka memang rutin turun dari Waerebo ke desa dibawahnya karena mereka juga
memiliki rumah disana.
Baca Juga : Rincian Biaya Backpackeran Bengkulu ke Labuan Bajo
Semua warga Waerebo juga begitu, mereka
memiliki dua tempat tinggal, yaitu di Desa Adat Waerebo dan di desa bawah
mereka akan rutin pulang ke rumah mereka seminggu sekali, atau dua minggu
sekali, secara bergantian sekedar untuk mengecek anak-anaknya atau membawa
bahan panganan, seperti bapak yang sedang membawa beras ini yang naik bersama
kami ini.
Anak-anak mereka yang bersekolah pun
juga tinggal di sana, hanya anak-anak kecil yang memang belum bersekolah saja
yang tinggal di Desa Adat Waerebo.
Aku udah beberapa kali melakukan
pendakian di beberapa gunung, namun pendakian menuju ke Desa Waerebo ini,
terasa sangat berbeda, mungkin karena memang jalannya sudah sangat bagus, dan pemandangannya
yang begitu memanjakan mata.
Lalu setelah melewati beberapa
pos selama 2 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di satu pondok yang atasnya
(bagian jendela) dipasang seruas bambu. Para pendatang diharuskan memukul bambu
itu sebagai tanda atau sinyal kepada warga Adat Waerebo bahwasannya akan ada
penungjung yang datang ke desa mereka.
Aku udah lama banget ga merasakan
kegembiraan yang begitu luar biasa yang ada didalam hati aku saat sampai ke
desa ini, suatu perasaan yang susah banget untuk aku susun dalam bentuk
kata-kata, rasa yang bercampur aduk antara senang, sedih, bahagia, lelah, dan
semuanya.
Ahkkkkkkkk aku benar-benar puas.
Sesampainya disana, aku langsung mematikan kamera yang sedari awal
perjalanan tadi terus menyala, bukan
karena kehabisan batre, aku hanya ga mau melakukan kesalahan dengan lancang
merekam sesuatu yang belum tentu diijinkan untuk direkam.
Kemudian saat mulai menginjakan
kaki di rerumputan halaman desa, aku dan Uli langsung disambut oleh seorang pemuda
yang bertugas untuk menyambut para tamu saat baru sampai di desa mereka, bersama
dengan dia kami diajak menuju ke rumah utama, yang terletak di depan sebuah altar
untuk kemudian melakukan upacara adat penyambutan.
Setelah selesai penyambutan, kami
dibawa ke dalam suatu rumah adat juga yang dijadikan sebagai tempat untuk
menginap para tetamu yang mengunjungi desa tersebut.
Rumah Adat Waerebo
Menginap dirumah adat Waerebo menjadi
suatu pengalaman yang sangat berharga untuk aku dan Uli, serta beberapa
pengunjung lain yang juga kebetulan datang kesana.
Rumah adat ini disebut dengan
Mbaru Niang, yang berjumlah sebanyak 7 Mabru Niang dan 1 Rumah Gendang (ini
merupakan rumah kepala adat). Mbaru niang ini berbentuk kerucut sebagai lambang
persatuan dan kesatuan, lalu pada rumah utama terdapat tanduk kerbau diatasnya
sebagai tanda bahwa ini adalah desa adat.
Rumah adat ini terbuat dari sabut
pohon Aren, yang disusun di atas bambu sebagai tulang-tulang pinggirnya dengan
struktur rangka dalam menggunakan satu penyangga kayu besar ditengah-tengahnya.
Selain sebagai penopanng, susuanan kayu penyanggah kecil pada bagian bawah rumah
pula dijadikan tempat untuk menyimpan barang atau dulunya juga
dijadikan sebagai kandang ternak, aku juga sempat melihat ibu-ibu disana sedang
menenun dibawah rumah adat tersebut.
Di Waerebo, terdapat 8 garis keturunan, dan orang tertua dari masing-masing garis keturunan pada generasi sekarang, bersama keluarganya akan mendiami Rumah Gendang atau rumah utama, sehingga didalam rumah tersebut terdiri dari 8 kepala keluarga. Sedangkan di satu Mbaru Niang biasanya di diami oleh 4 hingga 5 kepala keluarga saja.
Sesuatu yang membuat aku dan
teman-teman disana kembali tertegun adalah kenyataan bahwa asal-usul warga Waerebo
berasal dari Minangkabau, iya leluhur mereka adalah orang Minang yang melakukan
perjalanan hingga sampai ke Waerebo beberapa ratus tahun yang lalu.
Oh iya, Altar yang ada didepan
rumah utama ini merupakan tempat warga Waerebo melakukan upacara atau ritual adat,
sehingga sangat dilarang untuk di injak-injak atau di naiki.
Desa Adat Waerebo ini benar-benar
memberikan kesan positif untuk aku, ketercapaian aku ke tempat ini setelah
melalui perjalanan berhari-hari dari Bengkulu dan menemukan banyak teman baru
memberikan warnanya tersendiri dalam kehidupan.
Aku bersyukur banget tuhan
memberikan kesempatan yang luar biasa ini, dan berharap suatu saat nanti akan
kemari lagi.
Terimakasih Waerebo, dan terimakasih
untuk semua orang yang aku temui selama diperjalanan, mari kita berjumpa lagi
nanti.
Sekian.
bang Erik aku seperti lihat foto-foto di instagram milik akun akun yang sudah centang biru haha. qadarullah benget pertama lihat foto paling atas aku langsung ingat juga sama acara-acara tv nasional tentang budaya Indonesia. bang Erik keren banget dah, ini kerjaan utama atau sampingan berfaedah sih hahahaha
ReplyDeleteSumpah mantab banget traveling nya aku aja blm sampai ke gunung ijen wkwkwk
ReplyDelete